Kamis, 07 November 2013

The Captain And Gentleman


 

 

MARTIN 

Segera setelah melihat kami tiba, Martin bergegas mengangkat kakinya dan berlari penuh antusias. “Javier! Paula!” teriaknya sambil terus berlari ke arah kami, bersiap untuk memeluk kami. Saya sungguh terkejut, bukan karena besarnya cinta dan kasih sayang yang ingin dia tunjukkan, namun karena beberapa bulan yang lalu, Martin tidak dapat berbicara. Bisu dan tuli. Mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara-suara yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain, sehingga untuk bisa berkomunikasi dengannya, itu hampir tidak mungkin. Ketika masih berumur 3 tahun, Martin sudah terbuang secara sosial. Seorang anak tanpa masa depan. Setelah lahir, dunia mengasingkannya, tapi itu bukan akhir dari hidup Martin. Tidak ada seorang pun yang merasa terbeban untuk menolongnya. Tidak ada orang yang mau berempati dengan kondisi yang dia alami. Seolah-olah nasibnya sudah tertulis dengan pasti dan tidak akan ada perbaikan dari itu semua. Padahal, sebenarnya yang dibutuhkan hanyalah sedikit bantuan.

Dalam jangka waktu satu tahun, Martin terlahir kembali. Ada dokter anak yang mau memberikan pemeriksaan cuma-cuma terhadap masalah yang dialami Martin. Kemudian donasi dari orang-orang Samaritan untuk membiayai pembelian alat bantu dengar, dan logaoedic yang dapat membantunya berbicara. Tiga hal yang akan sangat mudah diperoleh oleh anak-anak yang terlahir di lingkungan negara kaya, tapi tidak untuk seorang anak yang terlahir di tempat yang tidak pernah dipedulikan oleh orang, di tempat yang tidak tersedia cukup makanan bergizi.
Martin adalah salah satu dari 550 anak lebih yang kami asuh di Pupi Foundation. Mereka semua berasal dari Traza, salah satu lokasi di Remedios de Escalada di distrik Lanus, sebuah daerah pinggiran berpenduduk miskin, di mana banyak hal pokok tidak dapat dipenuhi di sana. Penduduk Traza tercatat berjumlah lima ribu orang, yang hampir semua keluarganya hidup di bawah garis kemiskinan. Obat-obatan, kekerasan, kehamilan remaja adalah hal-hal yang akrab terjadi setiap hari. Air minum dan listrik menjadi sesuatu yang dianggap mewah. Tidak ada taman kanak-kanak atau pusat pelayanan masyarakat, tidak ada pelayanan untuk kebutuhan-kebutuhan darurat. Hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Héctor, Jonatan, Micaela, Ezequiel, Augustina, Jimena, Emiliano, Santiago, Nazarena, Karen dan anak-anak yang lain semuanya berasal dari sana. Setiap kali saya datang untuk mengunjungi mereka, ada atmosfer yang luar biasa. Masa depan mereka tidak akan suram lagi, meskipun perjalanan ini akan sangat panjang dan sulit. Setiap hari tantangan dan kesukaran akan mereka hadapi, seperti gunung-gunung baru untuk didaki. Dengan bantuan dari setiap orang, saya percaya masih ada kesempatan untuk memperbaiki dunia ini. Walaupun pertolongan kita hanya seperti tetesan air di tengah samudera, namun ingat, samudera ada karena tetesa air yang begitu banyak.
Kebahagiaan bagi saya ketika setiap hari dapat melihat perkembangan anak-anak. Bahkan hari ini, suara itu bergema di telinga saya “Javier!”. Suara yang diteriakkan dengan penuh ketulusan, seolah-olah itu adalah hal paling natural yang ada di dunia. Martin sekarang dapat berbicara. Ya, Martin telah melakukannya. Cerita Martin hanya satu dari banyak kisah membahagiakan yang kami jumpai setiap hari. Ini adalah contoh yang tepat untuk menunjukkan bahwa kita bisa mendapatkan hasil yang luar biasa ketika kita melakukannya dengan pengorbanan yang besar dan tidak kenal lelah. Start flying low to end up high. Memulai dari awal, kemudian mencapai puncak pada akhirnya. Itu adalah filosofi dari yayasan ini. Semua berawal dari ingatan saya akan masa kecil yang saya habiskan di Dock Sud (South Dock), daerah pinggiran kota Buenos Aires. Saya juga terlahir di tengah keluarga miskin. Namun orang tua saya tidak pernah membiarkan saya melewatkan kasih sayang dari mereka. Harapan terbesar saya saat ini adalah bisa melihat anak-anak Pupi menerima cinta dan kasih sayang sama dengan yang pernah saya terima, dan mereka memiliki kesempatan yang sama untuk meraih apa yang menjadi impian mereka.

Just like when it happened to me, when I was a kid chasing a ball, when everything was ready to be discovered and invented.
Sama seperti ketika hal itu terjadi pada saya, ketika kecil saya mengejar bola, dan ketika dari hal tersebut, segala sesuatu siap untuk ditunjukkan pada dunia. 

 

MASA KECILKU  

 Cerita saya bersama Inter sudah dimulai jauh sebelum sekarang.

Saya hanya seorang anak sama seperti anak kecil lain pada umumnya, dan bagi saya, sepakbola berarti Kempes, Passarella, Fillol, Bertoni, Tarantini, dan Ardiles. Mereka adalah pahlawan Argentina di Piala Dunia 1978. Diego Maradona, jelas dia adalah talenta baru bagi dunia sepakbola Argentina. Namun, bagi Luis Menotti, pelatih tim nasional saat itu, Maradona masih terlalu muda untuk mengenakan seragam La Camiesta Albiceleste.

Sepakbola, pada masa itu, bagi saya adalah identitas diri, khususnya bersama Independiente, tim yang saya dan keluarga sangat gemari dengan luar biasa. Mengenai DNA, kami tinggal di Dock South (dock = dermaga), salah satu daerah pinggiran Avellaneda propinsi Buenos Aires. Bagi kami penduduk sana, sepakbola adalah satu-satunya hal yang dapat membuat hati kami bahagia, keluar dari segala penderitaan dan kesedihan hidup yang ada. Segala sesuatunya tergantung kepadamu, apakah akan menjadi fans klub Racing atau menggilai Los Diabolos Rojos, si setan merah, Independiente. Memang ada beberapa kelompok orang yang lebih memilih mendukung tim-tim besar, seperti Boca Junior atau River Plate, namun jumlah mereka hanya sedikit. Saya jatuh cinta pada Independiente entah tanpa alasan yang jelas, seolah-olah saya memang terlahir untuk menjadi pendukung Independiente. Kamu tidak memilih suatu tim, kamu sudah mencintainya sejak awal, tanpa syarat, tanpa kata ‘jika’ atau ‘tapi’. Jadi, sebelum benar-benar dapat memahami alasannya, saya mendapati diri saya sedang sangat mengidolakan Ricardo Bochini, Antonio Alzamendi, dan Jorge Burrucha.

Saya lahir pada tahun 70-an, dan pada dekade tersebut, Independiente menjadi tim yang dapat memenangkan segala kompetisi. Championships, Libertadores, Intercontinental. Walaupun begitu, ada dua pertandingan yang tidak dapat dimenangkan oleh tim yang sudah mengoleksi begitu banyak trofi itu. Dua pertandingan berturut-turut yang sulit untuk kami lupakan. Pada tahun 1964 dan 1965, Independiente berhasil mencapai final kompetisi Piala Intercontinental, keduanya melawan Inter ketika masa La Grande bersama Herrera, Facchetti, Corso, dan Mazzola, dan Inter berhasil menjuarai semuanya.

Meskipun saya tidak menyaksikan sendiri dua pertandingan itu, orang-orang terus membicarakannya selama bertahun-tahun, termasuk ayah dan kakek saya. Kekalahan dua kali berturut-turut dari klub Italia, ditambah lagi ada seorang Argentina di sana, Helenio Herrera, rasanya sangat menyesakkan, sulit untuk ditrerima. Saat itulah saya pertama kali mengenal Inter, sebuah tim yang dianggap sebagai musuh, tim yang menghancurkan mimpi kami di level internasional. Bagaimanapun, animo kebencian pada saat itu tetap menyisakan ruang bagi sebuah rasa hormat. Hanya Inter, tim yang mampu mengalahkan Independiente dua kali berturut-turut. Sungguh sesuatu yang jarang terjadi pada masa itu.

Untuk beberapa waktu lamanya, Inter hanyalah sebuah nama, layaknya hantu yang hanya melayang-layang di pikiran kami sebagai anak-anak. Pada saat itu, televisi tidak menyiarkan liga Italia, jadi kompetisi tersebut hanya sebatas fantasi bagi kami. Saya hanya mengetahui sedikit hal tentang Inter. Saya melihat beberapa foto di sana sini, dan saya sungguh dibuat terheran oleh San Siro, sebuah stadion yang sangat mengesankan sampai-sampai saya takut ketika melihatnya. Dan sekarang, stadion ini menjadi rumah kedua bagi saya.

Pada pertengahan tahun 80-an, akhirnya televisi mulai menyiarkan kompetisi liga Italia, walaupun hanya sedikit pertandingan yang ditayangkan. Semua berkat transfer Diego Maradona ke Napoli. Terima kasih pada El Pibe del Oro, karenanya Serie A menjadi salah satu kompetisi asing yang paling banyak diikuti di Argentina. Banyak di antara kami yang akhirnya membagi dukungan pada klub-klub lokal dengan Napoli. Napoli menjadi klub yang paling dicintai orang Argentina, karena pada tahun-tahun sebelumnya mereka juga membawa bintang Independiente, Daniel Bertoni. Inter juga mengalami kejayaan yang sama, melihat bagaimana Passarella, kapten timnas Argentina ketika menjadi juara dunia tahun 1978 juga bermain di sana. Di South Dock, kondisi seperti ini (kejayaan Inter) menjadi hal yang sangat menyebalkan bagi fans-fans fanatik dari Los Diabos Rojos. Bagi fans fanatik Independiente, Inter adalah sebuah klub yang arogan, lancang, dan sok berkuasa. Namun sekarang, saya menyadari kalau itu semua hanyalah penilaian yang salah. Saya memiliki keterikatan pada klub yang saya cintai. Cerita tentang Inter dan Independiente berjalan secara beriringan. Kedua tim itu terbentuk pada awal tahun 1900-an. Independiente dibentuk oleh para asisten toko yang marah karena tidak dimasukkan dalam kelompok pedagang, sehingga memberi nama “Independiente” (kebebasan). Inter dibentuk pada 1908, tiga tahun setelah Independiente, oleh 40 penentang Milan, yang tidak setuju dengan peraturan larangan bagi pemain asing untuk bermain di klub. Kedua semangat itulah yang tidak pernah surut dan selalu menjadi filosofi bagi kedua tim. Mereka adalah 2 tim yang sama : kuat, bermental juara, dengan sedikit kegilaan dan tidak dapat diprediksi.

Seiring dengan berjalannya waktu, simpati saya kepada klub hitam biru semakin bertambah, namun belum sampai pada level mencintai. Ketika sepakbola hampir menjadi bagian paling penting dalam hidup saya—bukan hanya sekedar hiburan—seorang pemain yang sangat saya idolakan datang ke Inter : Lothar Matthaeus, benteng kuat Jerman yang mampu mengubah hasil dan jalannya pertandingan sesuai dengan keinginannya. Seorang pemimpin yang tidak pernah menyerah. Bergomi mengatakan, “Jika Lothar ingin memenangkan suatu pertandingan, kami akan memenangkan pertandingan itu.” Namanya mulai dibicarakan di Argentina pada tahun 1986, ketika dia begitu ketat menjaga Maradona pada Piala Dunia Meksiko 1986 sehingga Argentina hanya menjadi runner up. Pada akhir tahun era 1980-an, ketika saya masih sebagai seorang remaja yang bermimpi untuk menjadi pesepakbola professional, Matthaeus dan Maradona adalah pemain utama yang mewakili Inter dan Napoli, dua tim yang paling sering bersaing untuk mendapatkan gelar Scudetto. Orang-orang jelas banyak yang lebih mendukung Diego. Bagi kami orang Argentina, dia masih seperti dewa sampai saat ini. Begitu juga dengan saya, seperti yang lain yang begitu menggilai Maradona, saya tidak dapat menutupi kalau saya juga mengagumi Matthaeus. Dari Matthaeus, saya melihat gambaran diri saya. Saya ingin menjadi sosok pemain seperti Matthaeus, seorang pemimpin.

Sungguh berkat Matthaeus, secara diam-diam, saya mulai menjadi Interista. 


ARGENTINA DAN SEPAKBOLA

Buenos Aires, 22 Juni 1986. Rumah keluarga Zanetti penuh suara gemuruh sorak-sorai. Ibu saya, Violeta, tidak tahu lagi bagaimana harus bertahan di tengah 6 orang anak-anak yang semuanya mengenakan scarf Argentina di leher. Kami duduk di depan televisi, dengan posisi seperti barisan sebuah tim sepakbola. Di belakang, duduk di atas kursi panjang, ada ibu dan ayah saya, Ignacio Rodolfo—yang sering sekali berekspresi seperti orang kesurupan ketika sedang menyaksikan sebuah pertandingan penting—dan kakak saya, Sergio. Di depan, dengan posisi jongkok dan berbaring di lantai ada teman-teman sepermainan saya, di mana kami bertumbuh bersama dalam sepakbola dan sebagai sahabat : Cacho, Luis, Zurdo, Cristian, dan saya. Kami semua mengenakan atribut Biancazzurro lengkap dari kepala sampai kaki.

Pertandingan penting ini disiarkan oleh Mondovisione. Pertandingan ini pasti akan dibicarakan orang selama beberapa hari : di bar, di pertokoan, di halaman rumah, di pasar.

Hanya satu hal yang ada di pikiran kami orang Argentina saat itu : kalahkan Inggris!! Sedangkan pertandingan yang lain dianggap tidak penting dan membosankan. Argentina-Inggris bukanlah pertandingan biasa : ini adalah hari di mana kami akan membuat perhitungan, membalas tindakan tidak pantas yang terjadi empat tahun yang lalu. Kenangan dari War of Malvinas Islands yang sarat dengan kematian itu masih sangat jelas ada di dalam ingatan kami. Orang Inggris adalah musuh, tapi sekarang, kami dapat mengandalkan si kekar berrambut keriting dengan nomor 10 di punggungnya : El Pibe Del Oro, si anak emas, Diego Armando Maradona. Dia mengembalikan harapan kami.
iVamos Argentina, vamos!” adalah bagian refrain yang berkumandang dengan sangat meriah dari setiap rumah ketika wasit meniup peluit awal dimulainya pertandingan. Ada perasaan cemas lalu kamu berteriak, kamu bersorak. Rasanya seolah-olah ada jutaan orang Argentina di Stadion Aztecam Meksiko. Kami mengikuti komentator televisi dengan sangat serius, setiap kata dari Victor Hugo Morales—komentator resmi dari timnas Argentina—menggambarkan dengan jelas setiap kejadian yang terjadi di lapangan. Babak pertama berakhir dengan kedudukan 0-0, namun hasil tersebut segera berubah ketika babak kedua baru saja berjalan beberapa menit.
Orang-orang yang hanya menganggap bahwa sepakbola tidak lebih dari 22 laki-laki muda berlari sambil menendang bola, pasti tidak pernah menyaksikan moment seperti pertandingan di bulan Juni sore hari ini. Dalam beberapa menit, 51 sampai 55, Argentina seperti berada di surga. Ini adalah pembalasan kami. Ketika Diego mengelabui kiper Inggris, Peter Shilton, dia menyentuh bola dengan tangannya, dan kami semua dibebaskan dari belenggu mimpi buruk. Tangan Tuhan : penghinaan yang menyakitkan untuk Inggris, namun bagi kami itu adalah balas dendam yang pantas untuk pelanggaran yang pernah terjadi terhadap Malvinas. Setelah kedudukan 1-0, bola kembali berada di tengah lapangan. Tidak ada waktu untuk kami kembali duduk di lantai setelah selebrasi gila itu, dan kejadian si “tangan Tuhan”—seperti yang ditulis oleh Osvaldo Soriano—secara pasti menjadi mitos bagi kami orang Argentina. Diego mulai berlari dari tengah lapangan, menggiring bola melewati pemain belakang Inggris, mengecoh Shilton dan 2-0 !!! Semua orang di rumah saya menggila, kami luar biasa bahagia. Dan gol dari Maradona, gol paling indah dalam sejarah sepakbola, layak untuk mendapat penghargaan sebagai salah satu pertunjukkan seni yang indah di atas lapangan hijau. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan pertandingan itu, dan berapa kali saya juga memimpikan untuk bisa menjadi bagian dari kejadian yang serupa : berlari melewati semua pemain, melompati kiper sampai akhirnya menyarangkan bola di dalam gawang. “¿De qué planeta viniste? ¡Para dejar en el ingles fireplace so! ¡Para que sea el país a apretado Puno, integrity por Argentina! … Argentina 2 – Inglaterra 0.” Berasal dari planet manakah sehingga kamu dapat mengalahkan Inggris? Karena sambil mengepalkan tangan, kami semua meneriakkan : Argentina 2, Inggris 0 !!!! Komentar Morales tersebut menjadi tema untuk beberapa tahun itu.
Setelah mengalami masa-masa suram, ketika bagi orang Argentina rasanya sulit sekali untuk meninggalkan rumah, Argentina menemukan kembali jalan menuju kebahagiaan. Pencapaian Presiden Raul Alfonsin pada tahun 1983 memulihkan kepercayaan diri negara kami, dan sepakbola berperan sebagai kunci pemulihan tersebut setelah tahun-tahun yang sulit karena kepemimpinan diktator. Pada tahun 1978, selama masa rezim totalitarian, memenangkan Piala Dunia adalah sebuah anugerah bagi kami semua. Saat itu saya masih kecil, tapi saya ingat betul selama beberapa hari itu setiap orang merasa lebih bahagia : terima kasih kepada sepakbola, karenamu kami dapat sejenak melupakan bermacam-macam masalah yang menghimpit kami. Kemenangan tahun 1986, selain merupakan awal dimulainya regenerasi, juga menjadi puncak kebahagiaan kami semua orang Argentina. Demokrasi akhirnya kembali setelah tiga tahun lamanya, dan Maradona adalah orang yang mampu merekatkan kembali hubungan antara satu orang dengan yang lain. Dieguito menjadi simbol kehidupan dan keselarasan, gambaran dari suatu negara yang selama bertahun-tahun harus menanggung penderitaan dan penganiayaan namun akhirnya mampu membebaskan diri dan mengembalikan kemerdekaan yang telah lama hilang.
Perayaan kemenangan atas Inggris berlangsung selama berminggu-minggu. Ketika mengetahui Argentina menang, tidak ada seorangpun yang mau berangkat bekerja keesokan harinya. Hari itu menjadi hari libur nasional, bahkan El Pais, surat kabar terbesar di Argentina, ikut menghentikan aktivitas kerja. Orang Argentina memang seperti itu, semangat kami sangat menggebu-gebu, dan kami mau melakukan apapun untuk kejayaan negara kami. Setelah kesuksesan mengatasi Inggris, Buenos Aires berubah menjadi lautan massa : kumpulan orang yang bersatu karena alasan yang sama, dan segala terima kasih untuk si rambut keriting yang telah mencetak dua gol yang akan selalu diingat dalam sejarah sepakbola. Namun kenangan yang terbaik adalah kemenangan puncak 3-2 atas Jerman yang saat itu dibela oleh Matthaus, dengan gol penentu dicetak oleh bintang Independiente, Jorge Burruchaga. Malam itu kami pergi merayakan kemenangan di Obelisk (sebuah monument di Buenos Aires) : semua orang Buenos Aires ada di sana. Anak-anak, orang dewasa, kakek-nenek, ibu rumah tangga, semuanya. Semua orang berada dalam suasana gegap gempita, mobil-mobil dihiasi dengan warna biru putih, kaos dengan nomor 10 menjamur di mana-mana, kembang api, komidi putar. Hari itu bahkan lebih meriah dari hari libur nasional lainnya : ini adalah kebebasan dan dimulainya era baru bagi Argentina.
Selama beberapa minggu radio, televisi, surat kabar terus menerus mengabarkan kemenangan itu, seolah-olah waktu sedang berhenti. Kekuatan sepakbola. Saya masih ingat ketika di jalan orang-orang meneriakkan : “¡Campeones!” dalam lautan antusiasme yang menjangkiti semua orang, miskin dan kaya, karyawan dan guru, pegawai pelabuhan sampai buruh.
Dan saya, di suatu malam, bermimpi. Saya bermimpi ingin menjadi Diego, menggiring bola melalui semua pemain lawan, melompati kiper dan mencetak gol, lalu orang-orang mengelu-elukan nama saya. Saya memimpikannya selama dua tahun, sampai akhirnya saya mendapati jalan buntu bagi karir saya. Ketika masih berumur 15 tahun, setelah berhasil merasakan bermain untuk Independiente junior, tim favorit saya, saya mendapati diri saya berjalan keluar. Ditolak. Dibuang. Dieliminasi. Tidak ada harapan bagi saya untuk menjadi bagian di antara bintang-bintang divisi satu liga Argentina. Alasannya : “Anak laki-laki ini terlalu lemah, terlalu kecil, terlalu rapuh. Dia tidak memiliki harapan yang bagus untuk berkarir sebagai pemain sepakbola.” Saya tidak mau lagi bermain sepakbola selama setahun, bahkan hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan teman-teman pun tidak saya lakukan.


MERAJUT ASA DAN MENATA MASA DEPAN 

 Ketika kecil, saya bermain seperti anak-anak pada umumnya, suka memukul lampu dan beberapa perabot rumah, sampai membuat ibu saya putus asa, tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghentikan kenakalan saya. Kehidupan saya sangat diinspirasi oleh Sergio, kakak saya : dia adalah seorang anak yang berbakat, dengan bola berada di antara kedua kakinya, dia dapat melakukan hal yang hebat untuk ukuran anak seusianya saat itu. Hal yang menjadi masalah adalah, kami tidak mempunyai tempat yang permanen untuk bermain sepakbola. Ada dua pilihan waktu itu : kamu tetap tinggal di rumah dan menuruti semua peraturan orang tua, atau pergi bermain ke jalan. Setiap tempat dapat kami gunakan untuk bermain sepakbola, meskipun sebenarnya saat itu bukan waktu yang tepat untuk berkeliaran di luar rumah. Dimulainya masa pemerintahan diktator pada tahun 1976, hanya ada sedikit alasan yang dapat membuat kami bahagia. Saya tumbuh dalam kondisi yang suram tersebut, di tengah-tengah rasa takut. Saya masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu, tapi saya merasakan ada yang salah dengan keadaan di sekitar saya. Bukan hal yang wajar kalau ada seorang ibu yang mengijinkan anaknya pergi keluar rumah dengan bebas. Setiap hari penuh dengan kegelisahan, ketakutan akan adanya penyerangan sehingga tidak dapat untuk bertahan sampai akhir bulan. Saya melihat orang tua saya berjuang begitu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami tidak kaya, tapi kami tidak pernah kehilangan hal-hal dasar mengenai kehidupan. Ayah saya bangun jam 5 pagi setiap hari lalu pergi bekerja ke tempat konstruksi bangunan. Pekerjaan ayah saya adalah : tukang batu, pekerjaan yang mungkin akan saya jalani seumur hidup apabila saya hanya mendengarkan orang-orang yang meremehkan kemampuan bermain sepakbola saya. Dan untuk beberapa waktu lamanya, saya juga adalah seorang tukang batu. Ketika berumur 12 tahun, saya mulai membantu ayah saya. Hal-hal sederhana yang saya lakukan : mengaduk semen, membawa batu-bata, dan melakukan penyelesaian akhir di beberapa bagian bangunan.


Saya menyukai pekerjaan ayah saya, sesuatu yang praktis dan berguna. Membangun rumah—ketika hal tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang sepele—juga berarti membangun masa depan bagi banyak orang. “Proses Membangun Rumah” akan tetap menjadi filosofi dasar bagi hidup saya : memulai dari bawah sampai akhirnya mencapai posisi tertinggi. Kita memulainya dari tanah, lalu beralih kepada tumpukan batu bata, membangun dinding, dan akhirnya mencapai bagian atap. Ideologi inilah yang mendasari Pupi Foundation, sebuah yayasan sosial yang saya dan Paula dirikan untuk memberikan dukungan dan perlindungan bagi anak-anak miskin di daerah Lanus, salah satu daerah paling memprihatinkan di Buenos Aires. Anak-anak adalah dasar kami, dan jika kamu ingin membangun rumah yang kuat, kamu perlu memulainya dari mereka.

Ini adalah pelajaran pertama yang ayah berikan pada saya. Ketika kami masih menjadi anak sekolah, di bawah masa kediktatoran, di South Dock tidak ada lapangan sebagai tempat untuk kami dapat bermain sepakbola. Kami coba memposisikan diri semampu kami. Tapi rasa lapar kami kepada sepakbola terlalu besar. Di dekat rumah kami ada satu lahan kosong yang luas, lalu mengapa itu tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebuah taman bermain di mana di dalamnya terdapat sebuah lapangan sepakbola? Ide tersebut muncul dari ayah saya, dan kemudian akhirnya menjadi kenyataan. Dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, serta pengalamannya yang kuat sebagai seorang tukang batu, ayah—dengan dibantu oleh orang tua yang lain—mewujudnyatakan mimpi kami. Sebuah lapangan sepakbola baru, yang berjarak sangat dekat dengan rumah. Akhirnya, anak-anak memiliki rumah bagi pilihan kami.
Dan di atas lapangan yang terdiri dari rumput serta pasir, semua ini dimulai.

Kami menghabiskan hampir seluruh masa kecil kami di sana. Setiap hari, sepanjang hari. Pertandingan yang tidak terbatas dengan kecepatan luar biasa. Kami membentuk tim sepakbola pertama kami, pasukan kecil dari Dock Sud : The Disneyland. Sebuah nama, sebuah rencana. Maradona tumbuh bersama Los Cebollitas (sebuah klub junior di Argentina), yang berarti “the little onions”. Sedangkan saya, berada di tim pahlawan dunia film kartun. Kami, orang Argentina, memiliki imajinasi yang bagus apabila berbicara mengenai nama. Berkat kompetisi ini, anak-anak tidak lagi bermain di jalanan, dan kehidupan bertetangga kami menjadi semakin kuat. Di setiap pertandingan selalu saja ada alasan untuk merayakan : para ibu datang untuk menonton, membawa Alfajore, kue khas Argentina, dan bagi kami, dunia berputar di atas lapangan itu, seperti luncuran peluru dari mimpi-mimpi kami.

Pada masa itu, ada satu memori yang akan selalu diingat melebihi hal-hal lainnya, salah satu hal terbaik dalam hidup saya. Ini akan terdengar seperti cerita dalam buku Cuore (judul buku cerita anak-anak), namun semuanya memang benar adanya. Satu hari, hanya satu minggu sebelum pertandingan final yang akan memberikan kami gelar juara liga, sepatu sepakbola saya rusak. Bukan hanya sobek atau ada lubang kecil : sepatu saya robek mulai dari depan sampai belakang. Sangat tidak mungkin sepatu itu dapat diperbaiki kembali menjadi seperti baru. Dan di rumah, kami tidak memiliki cukup uang untuk membeli sepasang sepatu baru. Saya merasa sangat putus asa. Bagi saya, pertandingan nanti, berarti segalanya. Namun tanpa sepatu, apa yang bisa saya perbuat? Saya sudah pesimis tidak akan akan bisa bermain di pertandingan final. Tidak ada orang yang bisa meminjami saya sepatu, karena pada saat itu sepatu menjadi barang yang sangat berharga. Namun, lalu, ada keajaiban ! Suatu hari saya pulang ke rumah dan ayah muncul persis di hadapan saya membawa sepasang sepatu di tangannya. Sepatu yang sama dengan yang selalu saya gunakan, namun dengan satu perbedaan kecil namun begitu penting, seluruh bagian yang sobek telah dijahit !! Ayah telah memperbaiki sepatu saya, dengan jarum dan benang, serta rela mengorbankan waktu berkerjanya.

Petualangan bersama The Disneyland tidak berlangsung lama. Selama bermain sepakbola, kami menunjukkan permainan yang bagus, sehingga suatu hari beberapa orang dari Independiente datang mengetuk pintu rumah saya. “Maukah kamu datang dan ikut bermain bersama kami?” Bayangkan betapa bahagianya saya saat itu. Saya akan menjadi bagian dari Setan Merah, mimpi saya menjadi nyata ! Selama tujuh tahun saya dengan penuh semangat mendukung Independiente, dengan sepenuh hati saya. Saat itu, tahun 1983, saya diresmikan sebagai pemain di Doble Visera, stadion milik Independiente yang terletak berlawanan dengan stadion milik klub Racing : hanya terpisah beberapa ratus meter, namun keduanya adalah dunia yang berbeda. Pertandingan pertama saya adalah pada turnamen Copa Libertadores. Independiente melawan klub dari Paraguay, Olimpia. Itu menjadi pertandingan yang hebat, kami berhasil memenangkannya. Di lapangan juga ada El Bocha, Ricardo Bochini, pemain yang sangat saya idolakan. Saya begitu dipenuhi dengan rasa bangga. Namun, mimpi saya untuk mengikuti jejak Bochini hanya berlangsung dalam waktu yang begitu singkat. Satu hari, saya menerima sebuah berita yang mengakibatkan kemunduran terbesar dalam karir sepakbola saya. Para manajer dan teknisi Independiente merasa bahwa pada kenyataanya, saya ini terlalu kecil secara fisik untuk melanjutkan petualangan sepakbola. Saat itu saya berumur 15 tahun. Mimpi saya hancur, semua harapan saya hilang, saya berhenti bermain sepakbola selama setahun, dan seolah-olah sepakbola sudah hilang dari kehidupan saya. Saya begitu kecewa, sedih, dan hampir sama sekali tidak dapat dihibur.

Selama setahun saya bekerja dan sekolah. Tapi jauh di dalam diri saya, saya terus mencoba membangkitkan semangat untuk bermain sepakbola lagi di lapangan, meskipun pada akhirnya selalu gagal. Dan sekali lagi, ayah  membawa saya keluar dari masalah. Pada hari ketika saya pergi bekerja bersamanya, selama makan siang kami membicarakan mengenai banyak hal, ini dan itu. Dia lalu bertanya pada saya, “Javi, kamu sebenarnya ingin menjadi apa? Apa kamu benar-benar serius memutuskan untuk berhenti bermain sepakbola? Lihatlah orang-orang di sekelilingmu yang percaya kamu memiliki kemampuan yang bagus, kamu dapat melakukannya. Kalau memang tidak berhasil di Independiente, mengapa tidak mencoba di tempat lain?

Kata-kata ayah tadi selalu memenuhi pikiran saya selama berminggu-minggu. Dan pada akhirnya, saya yakin. Buenos Aires adalah kota yang besar, tidak hanya ada Independiente. Saya akan mencoba untuk menemukan klub yang lain.

 

THE TRACTOR 

Meskipun jauh dari lapangan sepakbola selama satu tahun, saya tidak kehilangan hasrat untuk bermain atau lupa bagaimana cara bermain sepakbola. Selama berhenti bermain, fisik saya justru lebih banyak dibangun. Melalui usaha yang saya lakukan bersama ayah di tempat kerja, otot saya menjadi lebih berkembang, dan tinggi badan saya juga bertambah beberapa centimeter.

Setelah memikirkannya berulang-ulang, saya memutuskan untuk kembali ke lapangan. Kita harus selalu tegar berdiri, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Pelajaran itulah yang saya peroleh pada waktu itu, dan sejak saat itu, saya tidak pernah melupakannya. Kakak saya, Sergio, yang saat itu sedang memulai karir sepakbolanya, memberikan saya kesempatan yang bagus untuk kembali bermain sepakbola. Dia bermain bersama Talleres, sebuah tim kecil dari sebelah selatan Buenos Aires, tepatnya daerah Remedios de Escalada, tidak jauh dari Lanus, tempat di mana Diego Maradona tumbuh dewasa, dan beberapa tahun kemudian menjadi pusat dari PUPI Foundation.
Saya tidak ingin masuk tim hanya karena kakak saya juga bermain di tim itu : jadi ketika Sergio dijual ke tim lain, saya segera mengambil kesempatan, saya memperkenalkan diri dengan tekad dan kemauan yang kuat. Semuanya berjalan baik, saya berhasil masuk menjadi bagian dari tim. Saya menghabiskan musim pertama di kompetisi junior, Divisi Empat, di mana saya diandalkan sebagai pemain pengganti ketika situasi genting. Di Independiente, saya hampir selalu bermain di posisi striker luar, sebuah peran yang sangat sesuai dengan karakter saya : seorang leggerino (si kecil yang gesit), dapat berlari kencang, suka menggiring bola sampai ke depan gawang lalu membuat crossing. Namun ketika di Talleres, daerah permainan saya berubah menjadi first midfielder dan kadang-kadang juga berposisi di daerah pertahanan. Penetapan poisisi bermain saya baru terjadi pada musim berikutnya ketika saya dipromosikan ke tim utama. Satu tahun bermain di level Nasional B—setara dengan SerieB—telah membuka jalan saya untuk menjadi pesepakbola profesional.

Masalah utama saya pada saat itu adalah selain bermain sepakbola, saya juga harus memikirkan bagaimana cara untuk selalu bisa membawa roti ketika pulang ke rumah. Saya selalu membantu perekonomian keluarga, dan kenyataannya adalah ketika mulai serius bermain sepakbola, hal tersebut tidak lalu membebaskan saya dari kewajiban sebagai anak. Jadi, saya menemukan pekerjaan baru. Dari tukang bangunan + pesepakbola menjadi laki-laki pekerja + pesepakbola. Mulai pukul empat sampai delapan pagi, saya mengenakan seragam seorang pengantar susu, berjalan dari rumah ke rumah untuk mengantarkan botol-botol susu, dan ketika tugas tersebut selesai, saya lalu pergi ke sekolah. Pada sore hari, saya berlatih sepakbola. Ketika malam hari, saya dilanda kelelahan yang luar biasa. Hidup yang begitu sulit, namun saya melakukannya dengan penuh semangat karena saya tahu, mungkin, ini akan menjadi kesempatan terakhir untuk bisa membuat terobosan dalam karir sepakbola saya.

Pengorbanan besar itu berlangsung selama satu tahun, ketika saya bermain di tim junior. Ketika mulai dipromosikan masuk dalam tim utama, para manajer memberitahu tidak mungkin kalau saya terus melanjutkan aktivitas yang seperti itu, bekerja dan bermain sepakbola dalam waktu yang bersamaan. Saya segera memberitahu mereka, bahwa bagaimana pun juga, saya tetap membutuhkan uang untuk membantu keluarga. Mereka meminta saya untuk tidak perlu khawatir lagi mengenai hal tersebut, dan setelah itu saya mendapat kontrak pertama sebagai pemain profesional. Musim pertama bersama pemain-pemain hebat saya lewati dengan baik. Dari 17 penampilan dan mencetak satu gol, membuat saya terlihat istimewa di antara pemain-pemain muda yang lain. Saat itulah saya mulai mendapat nama panggilan “Pupi”. Hal ini muncul karena keisengan kakak saya, Sergio. Dia menamai saya dengan panggilan itu ketika dia masih bermain di Talleres. Pada saat masuk ke Talleres, ada lima orang lain yang bernama Javier (selain saya), sehingga secara otomatis mereka menetapkan nama Pupi sebagai panggilan untuk membedakan saya dengan Javier yang lain. Tidak ada arti khusus untuk Pupi : hanya sekedar nama panggilan yang dapat diucapkan dengan cepat, khususnya ketika sedang bermain di lapangan yang semuanya harus dilakukan dengan cepat.

Selain mengenai sepakbola, saya juga mulai menemukan sesuatu yang istimewa di area hidup saya yang lain. Ketika bermain di Talleres, saya mulai berkenalan dengan Paula, dialah seseorang yang akhirnya menjadi wanita terindah dalam hidup saya. Sama seperti cerita dalam dongeng yang berakhir bahagia, untuk memenangkan hati Paula saya perlu dibantu oleh seorang teman bernama Roberto yang juga adalah teman satu sekolah Paula. Satu hari, Roberto mengajak saya untuk pergi minum kopi, Ketika kami hendak pulang, saya melihat Paula, dan rasanya seperti disambar petir. Saya mulai bertanya banyak hal mengenai Paula pada Roberto, sampai akhirnya setelah mendapat banyak desakan, saya melihat Paula ketika sedang berlatih basket, olahraga yang saat itu ditekuni Paula dengan serius. Mungkin memang sesama atlet dapat saling memahami dengan baik satu dengan yang lain. Setelah latihan selesai, lagi-lagi dengan dibantu oleh Roberto, saya menemui Paula, dan akhirnya kami membuat janji untuk bertemu lagi lain hari. Sejak saat itu, perasaan dan emosi saya terasa seperti meledak-ledak, selalu berusaha mencari alasan apapun untuk bisa bertemu Paula. Dan perasaan itu akhirnya terbayar. Setelah mulai berkencan—saya berumur delapan belas dan Paula empat belas tahun—kami selalu bersama ke mana pun kami pergi.

Kembali ke dunia sepakbola, saya tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, dan bahkan saya menemukan cinta pertama saya. Akhirnya, sekarang saya dapat meninggalkan masa-masa kelam yang telah membuat saya tenggelam dua tahun lalu. Pengalaman di Talleres adalah salah satu hal paling penting dalam hidup saya : saat terang itu muncul setelah 20 tahun, akhirnya pintu terbuka untuk saya bermain di liga utama Argentina. Pada musim panas 1993, saya menerima berbagai macam tawaran. Banyak klub tertarik pada saya, termasuk Banfield, salah satu klub di distrik Lomas de Zamora yang memiliki banyak sekali pendukung.

Ya, saya memang tidak punya kesempatan lagi  mengenakan seragam Independiente atau klub lain yang memiliki sejarah kuat, namun mengenakan seragam ‘the humble’ Banfield (sebuah tim yang akan selalu berada dalam hati saya) adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa, apalagi ketika mengingat masa-masa sulit yang telah dilewati. Dengan semangat dan antusiasme yang baru, sangat mudah bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dua pelatih Banfield saat itu, Oscar Lopez dan Oscar Cavallero, memberikan saya seragam bernomor 4, dan sejak pertama sampai terakhir kali berseragam Banfield, saya tidak pernah menanggalkan nomor tersebut. Debut saya bersama nama-nama besar dalam dunia sepakbola terjadi di Monumental, stadion bersejarah kebanggaan River Plate. Itu adalah awal dari sebuah langkah-langkah besar berikutnya. Pada November 1994, Daniel Passarella, pelatih tim nasional Argentina, memasukkan nama saya dalam daftar pemain timnas untuk pertama kalinya. Rasanya seperti mimpi : setelah setengah musim bersama para pemain profesional, saya akhirnya mendapat kesempatan dan kehormatan untuk mengenakan seragam Albiceleste. Debut saya bersama timnas tidaklah buruk : menang 3-0 melawan Chile di Santiago pada 16 November 1994. Saya megakhiri musim pertama di Banfield dengan mencatat 37 penampilan dan mencetak satu gol. Musim berikutnya masih saya jalani bersama klub yang sama, dengan alur cerita yang sama dengan musim sebelumnya. Hanya saja, di musim kedua saya mulai mendapat julukan baru, yaitu El Tractor, the tractor. Di Argentina, hampir semua pemain memiliki julukan : El Cuchu, El Cholo, El Jardinero, El Pocho, El Piojo. Victor Hugo Morales, komentator legendaris yang menyiarkan kehebatan Maradona, adalah orang yang memberikan julukan baru tersebut pada saya, karena dia melihat kaki saya yang begitu kuat  (terima kasih kepada semua pihak yang telah melatih anak laki-laki lemah ini hingga menjadi kuat seperti sekarang). Cara saya bermain di lapangan mirip dengan traktor : berlari tanpa mempedulikan siapa yang ada di sekeliling saya, dan sulit untuk menghentikan atau menjatuhkan saya. Itulah yang ada di dalam bayangan Morales mengenai persamaan saya dengan traktor.

Musim kedua bersama Banfield, saya selalu masuk starting line up. Ketika di Banfield saya juga sempat merasakan bermain bersama Julio Cruz, yang saat itu juga sedang memulai karir sepakbola profesionalnya sebagai seorang striker. Beberapa tahun kemudian, ternyata kami bertemu kembali sebagai pejuang di klub yang sama, namun jauh melintasi samudra, mengenakan seragam garis hitam-biru vertikal.

 

DREAM COMES TRUE 

Satu malam ketika kami sedang melakukan kunjungan ke Afrika Selatan bersama tim nasional Argentina, Daniel Passarella mengetuk pintu kamar saya. “Javi, Inter ingin membelimu,” ucapnya dalam satu kali tarikan napas, bahkan tanpa memberi saya waktu untuk berpikir apakah dia sedang bercanda atau tidak. “Inter? Inter Milan? Tim yang pernah Anda bela? Tim yang dua kali mengalahkan Independiente? Tim di mana Matthaus pernah bermain?”


Ya, memang tepat seperti itu. Passarella tidak sedang berbohong atau bercanda. Seseorang yang memantau saya, lalu melaporkan pada pihak manajemen Inter, adalah salah satu pembawa kejayaan Argentina : Antonio Valentin Angelillo, striker Inter pada masa transisi tahun 50 dengan 60an yang sampai saat ini masih dikenal berkat 33 gol-nya dalam satu musim di Serie A. Dia melihat ketika saya bermain di Banfield; saya tahu kalau Inter sedang mencari pemain di Argentina, namun beberapa nama pemain yang sedang bersinar saat itu adalah Daniel Ortega dan Sebastian Rambert. Jadi ketika Passarella memberitahu berita tersebut, saya justru merasa bingung. Saya segera menghubungi agen saya. Ternyata semua ini benar, Inter menginginkan saya. Hal yang perlu saya lakukan adalah hanya membubuhkan tanda tangan dan jalan ke Italia sudah terbuka.

Kemudian saya mengalami dilema. Di satu sisi, suatu kebahagiaan besar bagi saya berada semakin dekat dengan salah satu klub paling sukses di dunia. Namun, di sisi lain, saya takut meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga, dan khususnya Paula. Dia masih sangat muda, masih duduk di bangku sekolah, dan tentunya dia tidak mungkin mengikuti saya pindah ke Italia, minimal dalam waktu dekat. Hari-hari yang sulit bagi saya. Namun saya merasa kalau mungkin, kesempatan bagus seperti ini tidak akan datang dua kali. Jadi, saya mengambil kesempatan ini dan mengejar cita-cita hidup saya.

Untungnya, saya memiliki waktu dua bulan untuk menyiapkan segala sesuatu, dan ternyata saya tidak akan pergi sendirian untuk menjalani petualangan baru ini : selain saya, Inter juga mendapatkan Sebastian Rambert, yang biasa dipanggil l’Avioncito, si pesawat terbang, karena gaya selebrasinya setelah mencetak gol. Rambert juga sudah menjadi teman saya di tim nasional. Orang-orang bepikir kalau kedatangan saya di Inter adalah sebagai bonus dari pembelian Rambert. Tapi sebenarnya bukan seperti itu. Pertama, Sebastian tidak bermain di tim yang sama dengan saya, Banfield, tapi dia bermain untuk Independiente (betapa beruntungnya dia). Kedua, Inter tidak membeli kami secara bersamaan sebagai pasangan, tapi dalam waktu yang berbeda. Dia datang setelah saya. Mungkin ini terlihat seperti hal sepele, tapi bagi saya ini sangat penting. Faktanya, saya adalah pembelian paling pertama dari Massimo Moratti—yang sekarang ini menjadi presiden Inter—pada tahun 1995. Banyak sekali kritik dari fans ketika mereka mendengar nama saya. “Apa? Moratti ingin mengembalikan kejayaan masa lalu Inter dan dia datang bersama Zanetti?” Saya memang pemain yang tidak banyak dikenal oleh orang. Bahkan fans sampai berkata kalau saya harus banyak makan roti terlebih dahulu sebelum menjadi pemain klub besar dunia. Bagaimana pun, keinginan Moratti untuk mendapatkan saya tetap kuat.

Selama masa promosi, Inter menaruh harapan pada pemain-pemain muda berlatenta dan pemain-pemain yang telah teruji kualitasnya. Selain Rambert dan saya, Roberto Carlos dan Paul Ince—salah satu gelandang tengah paling kuat di Eropa—juga tiba di rumah tim hitam-biru. Kondisi tersebut menciptakan situasi yang sulit, karena pada saat itu Bosman Law belum mulai berlaku. Jadi setiap tim hanya boleh memiliki maksimal tiga pemain asing. Dan kami berempat. Dalam keadaan seperti ini, orang pasti berpikir kalau saya lah yang akan dipinjamkan ke tim lain supaya tulang saya lebih terbentuk. Tiga orang selain saya, mereka adalah pemain yang populer. Rambert telah banyak diberitakan di surat kabar maupun televisi secara terus menerus karena gol-gol indahnya di liga Argentina; Roberto Carlos, yang walaupun baru sedikit orang mengenalnya, adalah salah satu pemain muda yang sangat menjanjikan untuk dunia sepakbola; Ince, orang telah mengenalnya ketika bermain untuk Manchester United. Dan Zanetti? Sama sekali tidak ada yang tahu. Namun begitu, ternyata saya tetap di Inter, saya bermain untuk Inter. Pihak manajemen Inter segera memberitahu kalau mereka tidak akan menukar saya ke klub lain. Mereka percaya pada saya dan kemampuan yang saya miliki. Maradona juga adalah orang yang turut membantu saya, ketika dalam sebuah interview dia menyatakan kalau “pembelian terbaik yang dilakukan oleh Inter adalah Zanetti.” Dan saya mulai untuk percaya pada diri saya sendiri.

Sudah terbiasa dengan kekacauan yang kadang terjadi di Buenos Aires, kondisi kota Milan tidak membuat saya kaget. Mungkin, karena kami, orang Argentina memiliki separuh darah sebagai orang Italia. Dan meskipun ribuan mil jauhnya dari Argentina, kami merasa seperti di rumah. Kakek-nenek buyut saya berasal dari Friuli, tepatnya daerah Sacile yang berada di provinsi Pordenone. Saya baru mengetahuinya beberapa tahun yang lalu. Saya bangga dengan darah Italia saya, khususnya Friuli. Saya merasa memiliki banyak kesamaan dengan para Friuliani : berkarakter kuat, handal, sederhana; karakter seperti itulah yang juga saya bawa ketika sedang bermain di lapangan.

Oleh karena asal usul tersebut, saya cepat merasa nyaman tinggal di Italia. Meskipun sendiri, keluarga dan Paula masih di Argentina, saya tidak merasakan homesick yang terlalu besar. Ini berkaitan dengan budaya dan gaya hidup. Italia dan Argentina adalah dua tempat yang identik, karena itu kami dapat cepat beradaptasi dengan permainan sepakbola Serie A. Perbedaan paling mencolok dari dua negara ini adalah dari tempramen orang-orangnya. Orang Argentina berkarakter tenang; kami sangat menikmati sosialisasi antara satu orang dengan yang lain. Namun, di Italia, semua orang terkesan seperti selalu terburu-buru. Di Buenos Aires, ketika kami membuat janji bertemu di tempat minum kopi, kami dapat menghabiskan waktu beberapa jam untuk bercerita hal ini dan itu. Namun, di Milan, segala sesuatu selesai dalam lima menit, mengucapkan selamat tinggal, lalu setiap orang kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Namun, pengalaman awal di Italia menjadi masa yang cukup rumit, termasuk tentang bahasa. Di Argentina, kami tidak biasa ditekan oleh media dan fans. Ketika masih bersama Banfield, di akhir pertandingan saya terbiasa diwawancara oleh reporter yang hanya membawa buku catatan kecil, dimintai sedikit tanda tangan dan foto, lalu setelah itu selesai. Hari ketika saya melakukan presentasi resmi untuk Inter adalah tanggal 5 Juni 1995 di Terrazza Martini, di mana di tempat itu banyak sekali kerumunan fotografer, kameraman, jurnalis (dengan buku catatan, pengeras suara dan alat perekam; pada saat itu, telepon seluler belum populer), dan para fans Inter meneriakkan nama saya. Bahkan, hujan pun tidak menghalangi antusiasme mereka. Bagi saya dan Rambert, ini adalah sensasi pertama dari petualangan berikutnya yang telah menunggu kami. Pertemuan secara langsung dengan Inter, menjadi pengalaman paling indah sekaligus gila dalam karir sepakbola saya di Italia. 

MEMBANGUN KEPERCAYAAN DIRI 

Zanetti pertama kali bertemu dengan Paula ketika masih mengawali karir bersama Talleres. Saat itu, Zanetti dan temannya, Roberto sedang menghabiskan waktu di tempat minum kopi. Ketika akan pulang, Zanetti melihat Paula. Sejak pandangan pertama itu, Javier langsung jatuh cinta pada Paula. Ternyata Kapten yang begitu kuat dan tangguh ketika di lapangan ini merasa malu untuk mendekati Paula secara langsung. Dia selalu dibantu oleh Roberto untuk mendapatkan informasi mengenai Paula. Kebetulan, Roberto adalah teman satu sekolah dari Paula. Sampai akhirnya, Zanetti berani untuk menemui Paula secara langsung, yaitu pada satu saat ketika Paula baru saja selesai berlatih basket bersama teman-teman sekolahnya. Tidak lama setelah pertemuan itu, Zanetti dan Paula mulai berkencan dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Saat itu, Zanetti muda berumur delapan belas dan Paula empat belas tahun.

Namun, di sisi lain, Zaneti takut meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga, dan khususnya Paula. Zanetti takut kehilangan sang kekasih. Saat itu Paula masih sangat muda, masih duduk di bangku sekolah, dan tentunya dia tidak mungkin mengikuti Zanetti pindah ke Italia. Hari-hari yang sulit bagi Zanetti. Namun ia merasa, mungkin kesempatan bagus seperti ini tidak akan datang dua kali. Akhirnya Zanetti pun memutuskan untuk menerima pinangan Inter, pindah ke Italia, meninggalkan Paula dan mengejar cita-cita hidupnya.
Saat pertama kali datang latihan di Appiano, Zanetti tidak membawa perlengkapan latihannya dengan tas mewah seperti pemain Inter lainnya. Zanetti datang ke Appiano dengan kantong kresek yang berisi sepasang sepatu dan beberapa kartu Identitasnya. "Permisi" kata Zanetti pada wartawan yang sedang meliput latihan Inter, saat itu tidak ada satupun orang yang mengenal Zanetti. Bahkan sang penjaga pintu gerbang saja mengira Zanetti bukan salah satu dari pemain Inter yang hendak latihan.
  
Saat pertama kali datang, fans tidak sadar bahwa saya adalah salah satu dari Tim. Bahkan, penjaga gerbang saja tidak tahu. kenang Zanetti. 
Selang beberapa hari kemudian, seusai press conference. Inter meminta Zanetti memilih satu dari beberapa Mobil mewah sebagai kendaraannya. Zanetti merasa gugup dengan pilihan yang ada, karna disana terdapat sederet Mobil mewah bermerek terkenal. Akhirnya, Zanetti memilih Mobil BMW bewarna hitam sebagai tunggangannya saat menuju kamp latihan di Appiano.

Sehari sebelum latihan, Zanetti menelpon Bergomi, "Apakah tidak masalah jika saya muncul dengan BMW baru saya?" Tanya Zanetti pada Bergomi.
"Saya tidak ingin teman teman yang lainnya berpikir negatif tentang saya." Lanjut Zanetti pada Bergomi, kapten Inter saat itu.

"Tidak, tidak masalah Sama sekali." Balas Bergomi pada Zanetti di telpon.
Keesokan harinya, Zanetti pergi menuju tempat latihan di Appiano. Dan betapa terkejutnya saat ia melihat pemandangan yang ada disana. 
Zanetti: "Ketika saya tiba, saya baru menyadari Mobil saya adalah yang paling Jelek di seluruh parkiran Mobil." Ucapnya sambil tertawa. 
Sebulan tinggal di Como, Zanetti merasa gundah karna sulitnya berkomunikasi dengan Pacarnya yang saat ini sudah menjadi Istrinya, Paula. 
Zanetti: "Dua blok dari rumah saya, ada sebuah telepon umum. Benda tersebutlah yang menjadi salah satu bagian penting dalam hidup saya."
Zanetti: "Saya sering membeli kartu telp beharga murah, dan menghabiskan berjam jam waktu saya disitu."
Zanetti: "Lama kelamaan saya merasa tidak enak, karna takut mengganggu pengguna telepon lain yang ingin memakai kabin itu."
Zanetti: “Saya membeli voucher telepon murah lalu menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kabin. Ketika sedang musim dingin, semuanya membeku dan tangan saya tidak mau berhenti bergetar. Namun, semua itu dapat mengobati rasa rindu saya. Masalahnya adalah, banyak orang yang mengantri ingin memakai telepon umum itu juga. Bayangkan saja mereka marah-marah karena saya terlalu lama di dalam kabin ! Untungnya saya lalu dapat membeli mesin faksimile.”

SEBUAH JANJI DAN SENYUMAN 

Interisti akan memberitahumu bahwa tidaklah cukup bermain selama bertahun-tahun untuk sebuah tim. Tidaklah cukup dengan mencium seragam seusai mencetak sebuah gol, tidaklah cukup hanya dengan menyampaikan kata-kata yang membuat penggemar begitu bahagia. Menjadi seorang penggemar adalah sebuah keyakinan. Saya kira ini lebih dari sekedar gaya hidup. Saya merasa dapat dengan cepat mencintai Inter, karena di dalam klub ini ada nilai dan ide-ide yang tidak dapat dijumpai di mana pun, dan saya sependapat.

Inter adalah klub yang berbeda. Inter tidaklah retoris. Inter selalu berjalan melawan arus, tidak pernah melibatkan diri dalam permainan kekuasaan yang bersifat licik. Inter adalah klub yang transparan, karena apa yang sedang terjadi selalu dapat dilihat tanpa perlu ditutup-tutupi, selama memang tidak ada hal yang bersifat rahasia. Saya mengerti hal-hal tersebut sejak pertama kali menginjakkan kaki di Appiano Gentile. Dan saya sungguh berterima kasih pada seorang guru yang telah menyadarkan saya : Giacinto Facchetti, kapten dari semua kapten, seorang teladan, sebuah symbol, segala sesuatu yang ada dalam dirinya adalah luar biasa.
Memiliki Giacinto sebagai pendamping, pembimbing, dan seorang teman adalah anugerah bagi saya. Dia mengajarkan pada saya apa arti mengenakan seragam Inter, dan bahwa menjadi Interista adalah sesuatu yang lebih dari sekedar menjadi seorang penggemar biasa; dia mengajarkan pada saya bahwa dalam sepakbola ya, hasil adalah sesuatu yang penting, namun ada nilai-nilai lain yang lebih penting daripada sekedar hasil : kesetiaan, permainan yang bersih, kejujuran, dan rasa menghormati terhadap pendukung maupun lawan. Karakter-karakter dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemain Inter, dan Giacinto, setiap hari selalu menyampaikannya pada kami, bahkan ketika semuanya seolah-olah sedang berbalik awah untuk melawan kami.
“Baik, cerdas, berani, tidak pernah memberikan reaksi yang berlebihan terhadap sesuatu. Sekali lagi, terima kasih telah membawa Inter pada kejayaan”. Kata-kata itulah yang disampaikan presiden Moratti untuk mengenang Giacinto setelah kematiannya. Hari yang begitu menyedihkan, 4 September 2006. Itu adalah hari di mana Inter kehilangan seorang pejuang dan pemimpin. Dan hari di mana seluruh dunia sepakbola, kehilangan sosok seorang lelaki yang tidak hanya luar biasa di tengah lapangan, namun juga dalam kesehariannya.
Nilai-nilai, semangat, dan dedikasi yang selama bertahun-tahun telah Giacinto berikan untuk membela Inter, bagaimanapun, akan selalu tinggal tetap. Bahkan hari ini, bagi semua Interisti, Giacinto akan selalu ada meskipun raganya sudah tidak lagi bersama kami. Bukan suatu kebetulan jika seusai meraih kemenangan, dedikasi pertama selalu diberikan untuk Giacinto. Bukan suatu kebetulan jika sampai saat ini masih diberikan satu penghargaan tersendiri untuk Giacinto. Bukan suatu kebetulan jika Giacinto dianggap sebagai contoh dan teladan untuk diikuti. Karena Giacinto telah dan akan selalu menjadi citra dari Inter.
Giacinto adalah seorang hombre vertical, seperti yang kami artikan di Argentina, yaitu seorang lelaki perkasa yang selalu menyerukan sikap saling menghormati dan menghargai. Seseorang yang enggan membuang waktunya dengan mengeluarkan terlalu banyak kata-kata, dan enggan untuk terlalu banyak disorot. Seorang lelaki pemberani, jujur, dan tulus. Seseorang yang tidak pernah menundukkan kepalanya di depan para penguasa, karena menghargai dan menaati setiap peraturan yang ada adalah cukup baginya; hal yang dia pelajari semenjak kecil. Giacinto memiliki sebuah buku harian, dan pada halaman pertama dia menulis satu kalimat dari Tolstoy : “The more we believe our existence depends solely on our actions, the more this becomes possible.”
Saya merasa bangga mengenakan ban kapten Inter, khususnya ketika tahu bahwa ban yang sama pernah dipakai oleh seseorang seperti Giacinto. Kepuasan terbesar ketika saya dapat menjadi penerus Giacinto. Tidak ada pujian lebih tinggi yang layak diberikan pada saya. Menjadi penerus Facchetti berarti bukan sekedar menampilkan sosoknya di dalam lapangan, namun juga ketika di luar lapangan, menunjukkan bahwa karir seorang pesepakbola tidak hanya diukur dari banyaknya trofi, namun di atas semuanya adalah kejujuran, kegigihan, dan karisma.
Sebuah hubungan yang erat terjalin dengan cepat di antara kami. Kami dapat saling mengerti satu dengan yang lain. Giacinto sering bercerita pada saya mengenai pertandingan antara Inter dan Independiente pada tahun 1960an. Dia telah turun bermain ke lapangan. “Sungguh pertandingan yang luar biasa, khususnya ketika berkunjung ke Argentina.” katanya mengenang situasi panas di Doble Visera. Saat itu adalah tahun-tahun di mana kamera belum memonopoli lapangan hijau, ketika hampir semua hal diperbolehkan untuk menghentikan lawan. Dan pada saat itu, pemain Argentina terkenal dengan karakternya yang sedikit kasar, begitu juga dengan ucapannya. Penggemar pun tidaklah lebih baik : melempar jeruk ke lapangan, menghina, mengancam. Saya lalu tersadar dan mengerti Inter yang sesungguhnya, khususnya apa arti menjadi Interisti : lambang, sejarah, kebanggaan, namun lebih dari semua itu adalah rasa memiliki, cinta, dan gairah yang besar.
Selama bertahun-tahun, Giacinto adalah pemberi semangat bagi semua pemain Inter. Dia selalu memberikan motivasi dan kata-kata yang baik pada setiap orang, dia mengerti cara memecahkan situasi yang sulit dan bagaimana memacu semangat seseorang untuk selalu dapat memberikan lebih. Dia selalu berada di samping setiap pemain, membantu kami dalam segala keadaan; Giacinto mengajarkan pada kami untuk tidak menyerah dalam masa-masa sulit dan tidak menjadi besar kepala ketika segala sesuatu berjalan baik.
Berita mengenai sakit yang diderita Giacinto adalah sebuah pukulan besar, seperti sambaran petir dari langit yang biru. Berita itu muncul ketika Inter sedang memulihkan kondisi, di mana pada tahun-tahun sebelumnya, Inter seperti tersisih. Giacinto menjalani bulan-bulan terakhir kehidupannya tetap dengan kerendahan hati. Dia meminta untuk dibiarkan tinggal dalam ketenangan, dia tidak ingin berita mengenai sakitnya digembar-gemborkan oleh surat kabar dan televisi. Saya menengok Giacinto berkali-kali ke rumah sakit, berharap akan ada sebuah keajaiban. Semua orang, mulai dari para pemain sampai penjaga gudang berkumpul menemaninya. Pada saat itu, yang ada di pikiran kami adalah bagaimana caranya melakukan sesuatu untuk Giacinto. Kesempatan itu akhirnya tiba pada 27 Agustus 2006, ketika ajang Piala Super Italia melawan Roma. Penyakit boleh saja menggerogoti Giacinto, namun sampai akhir dia tetao memberikan waktunya untuk Inter. Satu hari sebelum pertandingan itu, saya pergi menemuinya di rumah sakit dan berjanji : “Giacinto, aku berjanji bahwa besok aku akan kembali dengan membawa trofi”. Saya memegang kata-kata saya sendiri. Tantangan melawan Roma bukanlah hal yang mudah; sesuatu yang ajaib terjadi selama 120 menit pertandingan. Kami tertinggal 3-0, kemudian di babak kedua, semuanya berubah. Kami mengubah diri kami, kami menjadi tim yang solid, dan berjuang untuk setiap kesempatan. Dua gol Vieira dan Crespo membawa kami untuk menyamakan kedudukan menjadi 3-3, kemudian pada perpanjangan waktu Figo mengunci kemenangan dan memberi kami trofi itu. Saya tidak dapat menjelaskan dengan pasti bagaimana hal aneh itu bisa terjadi setelah babak pertama yang begitu buruk : yang saya tahu adalah setiap pemain di lapangan malam itu bermain tidak hanya demi memenangkan trofi, tapi juga untuk membawa trofi tersebut pada Giacinto.
Hari berikutnya, saya pergi ke rumah sakit dengan membawa trofi. “Ini untukmu”, kata saya. Giacinto tersenyum dengan sisa kekuatan yang masih ada padanya. Senyum itu tidak akan pernah saya lupakan. Senyum itu masih menerangi dan tinggal bersama saya, selalu dan  di manapun.

FLIGHT TO VICROTY 

Sejak masih kecil, sebelum bertanding, saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri sebuah slogan untuk membantu supaya tetap berkonsentrasi. Ayah yang menemukan slogan tersebut dan masih selalu memacu semangat saya sampai sekarang. “Ponga huveos, hombre, que hoy tienes que ganar” – “Kenakan atributmu Nak, sekarang pergilah dan menangkan pertandingan!”. Itu adalah aturan yang berlaku bagi setiap pesepakbola. Ketika sedang berada di lapangan, semua pesepakbola harus memberikan yang terbaik untuk tim mereka, namun jangan pernah lupa untuk tetap menghargai aturan yang ada dan lawan, di atas semuanya.


Hal itulah yang selalu saya coba lakukan ketika tiba di Inter. Saya tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan mentalitas sepakbola, pola latihan, dan skema permainan yang baru. Namun, pelatih Italia pertama saya, Ottavio Bianchi, segera menaruh kepercayaannya pada saya. Bersama tiga pemain asing lain yang begitu hebat (Sebastian Rambert, Roberto Carlos, Paul Ince), Bianchi juga menunjuk saya, dan akhirnya, pada 27 Agustus 1995, saya memulai debut bersama Inter untuk pertandingan resmi. Lawan kami saat itu adalah Vicenza. Pertandingan berlangsung di Giuseppe Meazza, sebuah stadion legendaris, yang sebelumnya hanya dapat saya lihat di layar televisi. Selalu ada emosi yang luar biasa ketika bermain di lapangan itu. Semuanya berjalan dengan begitu baik : Inter menang 1-0 melalui gol dari Roberto Carlos yang juga sedang menjalani debut sama seperti saya. Hasil itu sepertinya menandakan musim yang menjanjikan, namun ternyata secara perlahan, konsistensi kami menurun. Teman seperjuangan saya, Rambert, yang tiba di Inter dengan ekspektasi besar, ternyata gagal untuk bertahan dengan tekanan yang ada, sampai akhirnya dia meninggalkan Milan. Sebagai seorang striker, sulit baginya untuk mengembangkan diri di Serie A, apalagi dia masih sangat muda. Selain daripada hal tersebut, Avioncito memiliki masalah dengan kebugaran fisiknya. Bagi saya, perpisahan dengan Rambert adalah sebuah pukulan besar karena kami memiliki kesamaan : sama-sama orang Argentina dan kami berdua sama-sama dipanggil untuk terjun dalam lingkungan sepakbola yg begitu keras. Sekarang, Sebastian adalah bagian dari masa lalu : setelah gantung sepatu, dia menjadi seorang pelatih. Dia menjadi asisten dari Ramon Diaz, salah satu pemain hebat yangg juga pernah ada untuk Inter. Sebelum Rambert pergi, Ottavio Bianchi, pelatih kami, dipecat pada akhir September menyusul beberapa hasil mengecewakan. Menggantikan tempat Bianchi adalah seorang pria kebangsaan Inggris, Roy Hodgson (setelah ditangani sementara oleh Luis Suarez). Saya harus memulai dari awal lagi. Bersama Hodgson, semua berubah, mulai dari cara latihan sampai gaya bermain, namun Hodgson juga menunjukkan sejak awal kalau dia mempercayai saya. Dan bersama Hodgson saya memulai perjalanan karir yang panjang dan menyenangkan : bersama Bianchi, saya bermain sebagai right-back dalam pola 5-3-2, sedangkan bersama Hodgson saya adalah gelandang kanan dalam formasi berlian. Bersama Hodgson pula saya berhasil mencetak gol pertama untuk Inter, ketika melawan Cremonese di San Siro pada 3 Desember 1995. Sebuah gol, adalah sesuatu yang sangat bernilai dan akan selalu saya ingat dengan rasa bangga (saya bukan seorang striker, dan bagi saya, membuat beberapa gol sama halnya seperti dianugerahi anak-anak). La Gazzetta dello Sport, sehari setelah pertandingan itu, memberi saya nilai 8. Dan akhirnya nama saya mulai menjadi lebih dikenal, tidak seperti dulu di mana tidak ada orang yang tahu siapa saya.

Lingkungan ini, bagi saya, mulai membaik seiring berjalannya bulan demi bulan, bahkan dengan para fans Inter, segala sesuatu mulai menuju pada kondisi terbaik. Saya bukan pemain yang paling menonjol, bukan striker yang dalam pikiran orang selalu membuat gol atau assist, namun perlahan saya mulai memenangkan hati penggemar. Satu penghargaan yang indah adalah ketika Curva Nord menyanyikan sebuah paduan suara yang masih bergema sampai sekarang : Tra i nerazzurri c’è / un giocatore che / dribbla come Pelé / daì Zanetti alè!Di antara Nerazzurri, ada seorang pemain yang menggiring bola seperti Pele. Ayo Zanetti !! Mungkin membandingkan saya dengan Pele adalah sesuatu yang berlebihan, namun saya mengakui bahwa nyanyian itu selalu ada di hati saya, dan setiap kali Curva Nord menyanyikannya, saya selalu merinding.

Apabila dilihat dari sudut pandang saya secara pribadi, tahun pertama menjadi Interista bukanlah hal yang buruk. Namun, secara tim, segala sesuatu berjalan tidak sesuai harapan. Kami berada di peringkat 7 klasemen akhir, hasil yang begitu mengecewakan bagi sebuah tim yang secara historis selalu berkompetisi untuk memenangkan Scudetto. Bagaimanapun, itulah tahun pertama di bawah kepemimpinan Moratti, dan kita semua tahu bahwa sang presiden sedang merencanakan untuk membangun sebuah tim hebat yang mampu bertarung di semua lini.

Berselang satu tahun kemudian, keadaan menjadi semakin baik. Kekuatan tim mulai dibangun kembali dan menempati posisi atas klasemen dalam waktu yang lama meskipun gelar belum juga datang. Di level Eropa, kami harus melepas satu kesempatan besar. Bersama Hodgson, seorang pelatih yang sangat saya kagumi (meskipun di tengah rumor tidak benar yang selalu mengatakan bahwa dia adalah musuh pribadi saya), kami memainkan permainan sepakbola yang bagus dengan gaya latihan modern dan inovatif. Kenyataannya, kami mendapat dua kali tantangan dalam final Piala UEFA melawan tim Jerman, Schalke 04, pertandingan yang sampai saat ini masih menjadi penyesalan terbesar bagi saya. Kalah 1-0 di Jerman, namun kami berhasil menang dengan skor yang sama di San Siro. Ada banyak sekali peluang tendangan pada dua kali tambahan waktu, namun hasil tetap tidak berubah sehingga perlu diadakan adu penalti yang akhirnya mengukuhkan Schalke 04 sebagai juara. Selain kekecewaan karena kekalahan itu, ada ledakan emosi yang lain dari saya secara pribadi. Itu adalah saat di mana saya benar-benar merasa marah, emosi saya meluap di level tertinggi. Saya minta maaf kalau saat itu saya sangat arogan. Babak perpanjangan waktu tinggal menyisakan beberapa menit, adu penalti sudah menanti. Aliran bola dihentikan, hakim garis mengisyaratkan adanya pergantian pemain, dan yang muncul adalah nomor 4. Saat itu, saya tidak bisa menyembunyikan kemarahan. Saya meninggalkan lapangan, marah, lalu bertengkar hebat dengan Hodgson. Banyak orang berpendapat bahwa itu adalah puncak dari hubungan kami yang memang sudah bermasalah. Namun spekulasi itu tidak benar. Saya hanya merasa begitu lelah dengan adrenalin yang tinggi sepanjang pertandingan, apalagi saat itu saya masih muda, saya tidak mengerti mengapa Hodgson memutuskan untuk mengganti saya dengan Nicola Berti. Akhirnya, di ruang ganti, saya minta maaf dan segala sesuatu sudah diselesaikan dengan jabat tangan antara kami berdua.

Kekalahan di final, bagaimanapun, adalah seperti pil pahit yang sangat sulit untuk ditelan. Mimpi untuk berjaya di tingkat Eropa harus hilang karena jarak 11 meter dari gawang. Pertandingan final itu membuat kami semakin yakin dan membantu kami untuk mengerti bahwa Inter, dalam beberapa tahun kemudian, tetap dapat berbicara banyak baik di Italia maupun Eropa. Dan Moratti, pada musim panas berikutnya, tanpa mengeluarkan biaya, berhasil membawa ke Milan seseorang yang saat itu dianggap sebagai pemain terhebat di dunia : Ronaldo. 


INTERSOLIDARITY 

Saya tentu saja bukan satu-satunya orang yang merasa bahwa Inter adalah klub istimewa. Massimo Moratti, presiden klub ini, adalah orang nomor satu yang pantas diberi ucapan terima kasih, dia memiliki karakter yang jarang ditemukan dalam dunia sepakbola. Jika saya menjadi simbol Inter, semua adalah karena Moratti. Dia selalu membuat saya merasa seperti di rumah, dia selalu mendorong saya, dan lebih dari semuanya, bersama dengan Giacinto Facchetti, Moratti mengajarkan nilai-nilai di luar sekedar bermain sepakbola. Moratti adalah seorang yang rendah hati dan selalu ada bagi orang lain : ketika orang-orang berkata bahwa Moratti sudah seperti ayah bagi hampir semua pemain, itu bukanlah pernyataan kosong semata.


Di antara saya dan Moratti, ada satu hubungan yang kuat. Kadang saya berbicara dengannya dalam bahasa yang santai, dan di waktu yang lain saya akan berbicara dalam bahasa yang resmi, tergantung dari kondisi saat itu : setelah hampir 15 tahun kami saling mengenal satu sama lain, saya masih begitu bersemangat setiap kali berbicara dengan Moratti. Kenyataan bahwa Moratti menempatkan saya dalam daftar kapten terhebat Inter membuat saya merasa begitu puas dan bangga. Artinya, saya telah meninggalkan sesuatu untuk diingat dan saya harap ini tidak hanya ketika sedang di lapangan.

Rasa terima kasih saya untuk Moratti, beberapa proyek kemanusiaan telah dijalankan. Inter selalu menjadi yang pertama ketika diminta untuk membantu mereka yang membutuhkan. Ini adalah sebuah sikap yang  juga dapat dilihat pada banyak pemain Inter. Ketika tiba di Inter, kapten kami saat itu adalah Beppe Bergomi, yang  mengajarkan bahwa melalui sepakbola, saya dapat meraih banyak hal melalui popularitas yang kami punya. Lo Zio segera mengikutsertakan saya dalam kegiatan yang dibentuk beberapa tahun sebelumnya : I Bindun, sebuah organisasi yang telah berjuang selama beberapa tahun untuk menawarkan senyuman bagi mereka yang tidak mendapatkan banyak hal baik dalam kehidupan. Tujuan utama dari organisasi ini adalah menggalang dana untuk membangun rumah selamat datang bagi anak-anak kurang beruntung. Sebuah ide yang terinspirasi dari rumah yang memberikan masa depan bagi orang-orang, mengingatkan saya pada kenangan lama. Saya sama sekali tidak ragu dan mulai bergabung dengan I Bindun meskipun saya adalah orang yang paling akhir masuk, dan sebenarnya belum begitu mengerti tentang kehidupan di Italia. Dari situ, saya mendapatkan apa yang saya butuhkan untuk membentuk PUPI Foundation, beberapa tahun kemudian.. Tentu saja, berada bersama Inter banyak membantu saya untuk menjadi seseorang yang lebih peka pada berbagai macam hal, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan anak-anak.

Pengalaman bersama I Bindun hanya merupakan langkah awal. Keluarga besar Inter telah berjuang untuk berbagai macam kasus, dan kami, sebagai pemain, bangga menjadi bagian dari sebuah tim yang ketika sedang di luar lapangan, hampir selalu menjadi yang pertama dalam menunjukkan solidaritas. Sebuah solidaritas tidak pernah menyombongkan diri, tetapi terbentuk dari tindakan kecil dan sederhana yang benar-benar dapat memberikan kontribusi untuk memperbaiki hidup mereka yang setiap hari berjuang menghadapi kesulitan demi kesulitan. Melalui popularitas, kesuksesan, dan penghasilan, kami sebagai pemain sepakbola memiliki tanggung jawab untuk selalu siap sedia membantu orang lain. Tanggung jawab itu juga menjadi sebuah kebahagiaan : karena tidak ada hal lain yang lebih indah daripada ketika kita dapat membawa senyum bagi orang lain.

Saya bangga menjadi Kapten dari sebuah tim yang selama satu tahun mendukung organisasi Emergency, yang mana Gino Strada, sang presiden dan juga teman saya, adalah seorang dokter yang selalu mengunjungi untuk membantu tempat-tempat di seluruh dunia yang telah hancur oleh karena perang. Saya bangga karena Inter selalu hadir di setiap belahan dunia melalui Inter Campus-nya, sebuah sarana yang telah memberi kesempatan pada lebih dari 20.000 anak berusia antara 8-13 tahun untuk dapat bermain sepakbola, dan yang lebih penting, mereka dapat bertumbuh tidak hanya dengan nilai-nilai sepakbola namun juga dengan nilai-nilai lain yang akan memperkaya hidup mereka.

Saya pun merasa tersanjung kalau beberapa waktu kemarin dipilih sebagai duta untuk Special Olympics, sebuah program latihan internasional yang memberikan kesempatan bagi lebih dari 1.000.000 orang yang mengalami kelainan mental untuk dapat berolahraga dan ambil bagian dalam kompetisi. Ini adalah satu pengalaman lain yang begitu luar biasa dan menyentuh hati saya. Bagi kebanyakan orang, kami, para pesepakbola, adalah panutan , contoh; dan tugas untuk kami dapat hadir memberikan terang dalam kehidupan orang-orang, adalah satu hal yang tidak boleh dilupakan.

Di antara begitu banyak kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Inter, yang paling tidak terlupakan adalah tentu saja proyek yang berkaitan dengan Zapatista dan pemimpinnya, Marcos. Banyak orang telah melihat proyek ini, dibentuk pada tahun 2004, dari sisi negatif, terlihat bahwa Moratti dan Inter seperti mendukung adanya perang. Ide dari kegiatan ini sebenarnya adalah sangat sederhana dan mulia : menggalang dana untuk membangun sebuah terowongan di desa Zinacantan yang telah dihancurkan oleh kelompok militer, juga untuk mengirim obat-obatan dan membeli ambulan untuk komunitas yang tinggal di daerah perbatasan antara Meksiko dan Guatemala. Sepertinya sah-sah saja bagi kami untuk membantu kelompok Chiapas : solidaritas tidak memandang warna, agama, dan paham politik. Kelompok-kelompok ini berjuang untuk membuat budaya mereka diakui. Saya percaya, seperti isi surat yang pertama kali kami tulis untuk Marcos, bahwa dunia yang lebih baik bukanlah dunia yang diisi dengan globalisasi,  namun yang kaya dengan tradisi dan kelompok-kelompok yang berbeda. Marcos berjuang untuk mengembalikan hidup dan martabat populasi orang-orang Kolombia di Meksiko; dia adalah pejuang bagi mereka yang sudah kalah di bumi ini, pejuang bagi mereka yang terlupakan, dan mereka yang tidak dianggap meskipun mereka tidak pernah menyerah. Inisiatif ini melibatkan setiap orang. Kami harus membayar denda setiap kali terlambat datang latihan, dan uang tersebut akan dikumpulkan sebagai dana untuk membantu orang-orang di Chiapas. Saya teringat akan surat-surat dari Marcos yang dikirim untuk Inter, khususnya pada gambar Marcos saat mengenakan topeng passamontagna sambil memegang jersey nomor 4 saya di tangannya. Saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengenalnya secara pribadi, namun dari kata-katanya menunjukkan betapa cerdasnya Marcos. <<*Brothers Players*>>, begitu Marcos menulis dalam surat pertama, di mana dia berterima kasihkepada Inter untuk dukungan yang diberikan <<*kami mengundang kalian datang ke tanah kami untuk berbagi pemikiran dan pengalaman*>>. Dua minggu kemudian, Marcos menulis lagi, meminta Moratti datang dan menantang tim nasional dari Zapatista Army of National Liberation (EZLN). <<*Kami memiliki pemikiran untuk membentuk Coppa Pozol de Barro : tujuh pertandingan untuk mengumpulkan dana bagi masyarakat pribumi, bagi para imigran illegal, maupun untuk kondisi-kondisi lain. Pertandingan  akan diadakan di stadion Olympic kota Meksiko, di Guadalajara, di Los Angeles, di dekat pusat militer Amerika di Guantanamo, di Milan, di Roma, dan di daerah Basque. Jika Anda setuju, EZLN ingin memainkan pertandingan di kota Meksiko, dengan diwasiti oleh Diego Armando Maradona.. Hakim garisnya adalah Javier Aguirre dan Jorge Valdano. Official keempat adalah Socrates. Komentator siaran langsung untuk Sistema Zapatista di Televisione Interglattica dapat diambil oleh penulis Uruguay, Eduardo Galeano dan Mario Benedetti*>>. Pada akhir surat, semuanya menjadi semakin serius. <<*Motivasi sesungguhnya mengapa saya menulis surat ini adalah berbeda. Saya ingin berterima kasih kepada Inter sekali lagi, begitu juga para fans, untuk cinta, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan pada kami*>>. Pertandingan itu, sebenarnya tidak perlu dikatakan, tidak pernah terjadi. Namun jika suatu hari harus bermain, saya tidak akan keberatan untuk memainkannya. Jika ini membawa sebuah dampak yang baik, saya akan sangat senang untuk dapat bermain di Chiapas : menendang bola tidak pernah membahayakan bagi setiap orang, tetapi justru telah melahirkan selebrasi, kerjasama, dan persaudaraan.

Warna hitam-biru juga mendukung perjuangan melawan lalat tse-tse, serangga yang telah menyebabkan penyakit tidur di Afrika, khususnya di Kongo. Pada awalnya kami berpikir ini hanya sebuah bercandaan ketika pada tahun 2007, Inter menerima sebuah surat dari seorang dokter yang menjelaskan bahwa warna hitam-biru dapat menghipnotis lalat tersebut. Setelah mengetahui bukti-bukti ilmiah, Inter menerima tawaran untuk memberikan bantuan dengan antusiasme yang besar. Bersama dengan Atalanta yang memiliki warna kebanggaan sama dengan Inter, 213 jebakan hitam-biru dapat membasmi 50 lalat tse-tse dalam satu hari. Sebuah kemenangan yang lain untuk solidaritas Inter, la mas digna, seperti yang pernah dideskripsikan oleh Marcos.

Tidak ada hal lain yang lebih indah daripada memberikan pertolongan, di mana pun, dengan cara apa pun, menggunakan apa saja yang kita miliki.

 

THE CAPTAIN AND HIS FAMILY 

Javier Zanetti adalah suami dari seorang wanita kebangsaan Argentina bernama Paula de la Fuente. Zanetti pertama kali bertemu dengan Paula ketika masih mengawali karir bersama Talleres. Saat itu, Zanetti dan temannya, Roberto sedang menghabiskan waktu di tempat minum kopi. Ketika akan pulang, Zanetti melihat Paula. Sejak pandangan pertama itu, Javier langsung jatuh cinta pada Paula. Ternyata Kapten yang begitu kuat dan tangguh ketika di lapangan ini merasa malu untuk mendekati Paula secara langsung. Dia selalu dibantu oleh Roberto untuk mendapatkan informasi mengenai Paula. Kebetulan, Roberto adalah teman satu sekolah dari Paula. Sampai akhirnya, Zanetti berani untuk menemui Paula secara langsung, yaitu pada satu saat ketika Paula baru saja selesai berlatih basket bersama teman-teman sekolahnya. Tidak lama setelah pertemuan itu, Zanetti dan Paula mulai berkencan dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Saat itu, Zanetti muda berumur delapan belas dan Paula empat belas tahun.


Setelah menjalani masa pacaran selama kurang lebih 7 tahun, akhirnya Paula dan Zanetti menikah pada 23 Desember 1999 di Argentina.

Untuk mendapatkan anak pertama, Zanetti dan Paula harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Satu tahun? Dua tahun? Tiga tahun? Bukan !! Mereka telah bersabar dalam waktu 6 tahun pernikahan sampai putri pertama yang diberi nama Sol Zanetti, lahir pada 11 Juni 2005.

Tiga tahun setelah Sol kelahiran, Zanetti dan Paula dikaruniai seorang putra bernama Ignacio Zanetti.

Pada 9 Mei 2012 kemarin, satu lagi putra hadir melengkapi kebahagiaan keluarga Zanetti dan Paula. Putra ketiga mereka diberi nama Tomas Zanetti.


Sol, Ignacio, dan Tomas Zanetti ketiganya lahir di Italia. “Mungkin ini terkesan seperti kebetulan belaka, namun setelah anak-anak saya (Sol dan Ignacio) lahir, Inter mulai kembali meraih kemenangan. Menjadi seorang ayah adalah pengalaman paling indah, dan cinta kasih untuk anak-anak kami adalah sesuatu yang tidak terukur, melebihi apapun dan siapapun. Anak-anak telah mengisi dan mengubah hidup saya menjadi lebih baik.



CANDIDO CANNAVO, TENTANG ZANETTI 

“Ketika tinggal di Catania dulu, saya terbiasa melihat berbagai aktifitas Gunung Etna dari jendela rumah saya. Dari diliputi salju hingga meletus. Bagi orang asing mungkin terdengar dahsyat atau menyeramkan. Untuk saya, sebagai orang Catania, itu hanya hal normal sehari-hari.“

 Melihat Javier Zanetti dilapangan, dengan kapasitasnya yang luar biasa, saya jadi teringat Gunung Etna. Saya pikir perumpamaannya sangat pas. Zanetti ibarat hal normal sehari-hari bagi Inter.
Seperti orang Catania identik dengan Gunung Etna, Zanetti identik dengan Inter. Seperti orang Catania mencintai Gunung Etna, tifosi Inter pun sangat menyayangi dan mengagumi Zanetti. Namun mereka tidak tergila-gila kepadanya, menganggapnya sebagai hal normal sehari-hari. Lebih mudah bagi siapapun untuk tergila-gila kepada Ibra (saat itu).
Saya bertanya-tanya, dimana lagi bisa menemukan pemain seperti Zanetti ??? Dia datang ke Milan sejak masih sangat muda. Sekarang usianya 35 tahun (saat itu), meski jiwanya masih muda. Ini musim ke-14-nya (saat itu). Dialah Signor Dovunque (Mr. Every where), ada dimana-mana. Dia telah mengalami semua pergantian pelatih, dari Luigi Simoni sampai Jose Mourinho (saat itu), namun tak seorangpun meragukannya. Dia selalu ada dilapangan, dari sebagai ''Prajurit kecil'' hingga sebagai ''Kapten'' yang sangat dicintai.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Zanetti dengan Inter menjadi lebih religius dan eksklusif. Namun dia tetap memiliki kehidupan normal. Menikah, punya dua anak bernama Sol dan Ignacio (saat itu), dan aktif di banyak kegiatan amal.   
Saya pernah mengajaknya ke penjara San Vittore untuk berbicara dengan para narapidana. Zanetti sering sekali menelpon saya, tapi tidak untuk membicarakan sepak bola, melainkan soal kegiatan amal. 
Moratti pernah mengatakan : ''Bagaimana bisa menganggap Zanetti seperti orang asing ?'' Inilah istimewanya Zanetti. Dia bukan orang Italia, tapi loyalitas dan dedikasinya sungguh mengagumkan. Dia juga tidak pernah meragukan kewarganegaraannya.
“Argentina adalah ibu saya, sedangkan Italia istri saya, negara yang saya nikahi. ujarnya memberi perumpamaan.
Menurut saya Zanetti pantas mendapat tempat dalam sejarah INTER, seperti Giacinto Faccetti dan Giuseppe Bergomi. Atas kesetiaan, ketenangan, dan pilihan hidupnya, Zanetti seperti Facchetti. Kebetulan dua nama itu berirama sama dan sangat indah.

 

KATA MEREKA TENTANG ZANETTI

  • Marco Materazzi: “Di dunia ini, tidak ada satupun pemain yang saya takuti, kecuali Zanetti”
  • Roberto Mancini: “Ikon sepak bola yang sesungguhnya”
  • Roberto Baggio: “Dulu dia pernah mengatakan ingin menjdi seperti saya, tapi sekarang saya ingin mengatakan kepada dia bahwa sekarang saya ingin seperti dia”
  • Fabio Cannavaro: “Dia mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi seorang kapten sesungguhnya”
  • Wesley Sneijder: “Anda biasa melihat pelatih di sisi lapangan, namun jika di dalam lapangan Zanetti adalah pelatih Anda”
  • Jose Mourinho: “Semua pemain ingin menjadi seperti Javier”
  • Lionel Messi: “Saya sangat takut menghadapi ketenangan Zanetti”
  • Paolo Maldini: “Musuh yang paling saya hormati”
  • Esteban Cambiasso: “Zanetti? Hanya satu kata, SEMPURNA”
  • Davide Santon: “Jika saya mempunyai 10% dari 100% kemampuan Zanetti, saya bisa menjadi pemain terbaik di dunia”
  • Douglas Maicon : “Walaupun Anda melakukan kesalahan separah apapun ketika bertanding tidak ada sedikitpun wajah kemarahan yang terlihat dari Zanetti, dia akan membantu dan membimbing Anda untuk menjadi lebih baik lagi”
  • Ryan Giggs : "Lawan paling tangguh yang pernah saya hadapi adalah Javier Zanetti"
  • Sir Alex Ferguson : “Pemain yang paling bersih yang pernah saya lihat”
  • Diego Simione : “Hanya satu yang belum pernah saya lihat dari Javier, kemarahan“
  • Pierre Luigi Collina : “Jika Anda ingin menjadi pesepak bola, lihatlah Zanetti ”
  • Arsene Wenger : “Saya memang tidak mengenal Zanetti secara personal, tapi jika saya memperhatikan kemampuannya sikap dan perilakunya di dalam ataupun di luar lapangan, nilai 100 belum cukup untuk diberikan kepada Zanetti”
  • Massimo Moratti : “Tidak ada pembelian terbaik yang pernah saya lakukan, kecuali membeli Zanetti”.
 

2 komentar:

Digo Sagenta mengatakan...

Mana nih komennya?

10 November 2013 pukul 07.00
Reza Andika mengatakan...

keren gan,, izin copy gan

25 Desember 2014 pukul 18.34

Posting Komentar